Search This Blog

Thursday, June 10, 2004

BILA ANAK DENDAM PADA ORANG TUA

BILA ANAK DENDAM PADA ORANG TUA

Dendam anak harus dikikis agar tak terus terbawa sampai dewasa.


Di kelasnya Alvin, sebut saja begitu, termasuk anak bandel. Ada saja ulahnya yang membuat teman-teman dan gurunya jadi jengkel. Berulang kali orang tuanya dipanggil menemui guru kelasnya untuk membahas kenakalan Alvin. Merasa ada yang salah dengan anaknya, sang ibu membawa Alvin ke seorang psikolog.


Melalui serangkaian observasi, akhirnya diketahui Alvin menyimpan dendam pada orang tua yang memaksa dirinya masuk TK saat ia belum ingin sekolah. Kompensasi dari kekesalan yang sudah berlangsung lama itu memancing Alvin untuk selalu membuat onar di kelasnya.


Betulkah anak seusia Alvin bisa menyimpan dendam pada orang tua? "Sangat mungkin. Pengalaman yang tidak menyenangkan atau bahkan menyakitkan yang harus mereka terima tanpa bisa menolaknya seringkali menimbulkan serangkaian efek negatif," tanggap Sani B. Hermawan, Psi., dari Yayasan Bina Ananda. Terutama jika perasaan dendam itu tidak tertangani dengan baik.


FAKTOR PENDUKUNG




Di usia ini perkembangan emosi anak sudah selangkah lebih maju. Kalau sebelumnya anak baru bisa merasakan hal-hal konkret seperti sakit, lapar, haus, dan sebagainya, di usia ini emosinya sudah jauh lebih berkembang. Ia mulai mengerti tentang kekecewaan, kesedihan, bahkan bisa menyimpannya dalam hati.


Memang tidak semua anak yang merasakan kekecewaan akan terus memupuknya menjadi bongkahan dendam. "Semua terpulang pada karakter anak. Ada yang mudah menerima kekecewaan, tapi ada juga yang cenderung menyimpannya. Sejalan dengan itu, polesan dari lingkungan akan sangat berpengaruh," ungkap psikolog yang juga berpraktek di Empati Development Center ini.


Menurut Sani, selain karakter dan polesan dari lingkungan, ada beberapa faktor yang mendukung suatu masalah jadi berakar:


Frekuensi


Makin sering masalah yang sama mengganggu anak, makin besar kemungkinannya menaruh dendam.


* Intensitas


Seberapa intens masalah tersebut mengenai anak juga berpengaruh pada besar kecilnya peluang tersulut untuk balas dendam.

* Durasi


Tenggang waktu/berapa lama masalah tersebut berlangsung.


* Daya tahan/toleransi anak


Ada anak yang daya tahan/toleransi terhadap masalah cukup tinggi, hingga bisa tangguh menghadapinya. Tapi tidak sedikit pula yang kurang tangguh menghadapi masalah yang sama.

* Kematangan emosi


Walaupun usianya sama, tapi bisa jadi kematangan emosi anak berbeda. Makin tidak matang emosi anak, makin rentan pula ia dalam menghadapi masalah.


HAL YANG MEMBUATNYA KECEWA


Menurut Sani, berbagai hal yang dialami, didengar, dilihat maupun dirasakan anak, yang sekiranya tidak menyenangkan berkemungkinan mengganggu pikirannya. Apalagi bila hal-hal yang tidak menyenangkan tadi tidak segera diimbangi dengan pemberian pemahaman secara benar. Biasanya, inilah sumber kekecewaan dan dendam yang dialami anak usia prasekolah.


* Sesuatu yang dipaksakan oleh lingkungan


Intinya, apa saja yang tidak diinginkan si anak, tapi orang tua/lingkungan memaksakannya, amat berpeluang memunculkan dendam. Terlebih karena di usia ini anak belum punya posisi tawar untuk menolaknya. Contohnya seperti kasus Alvin yang dipaksa "bersekolah" padahal ia tidak menginginkannya. Akibatnya, di usia sekolah yang sesungguhnya, dia malah berulah.


Bisa juga pemaksaan dengan alasan khusus. Misalnya demi alasan kesehatan, orang tua memaksa anak tiap hari mengonsumsi makanan tertentu. Akibatnya, dalam jangka panjang tidak hanya makanan itu yang membuat anak muak. Juga kekesalan anak terhadap orang tua yang akan muncul setiap kali orang tua menyajikan makanan yang sama.


* Keluarga yang tidak harmonis


Anak akan merasakan kekecewaan bila berada di lingkungan keluarga yang tidak harmonis. Misalnya anak kecewa menyaksikan percekcokan orang tuanya sepanjang waktu. Dalam hal ini anak belum bisa berbuat apa pun untuk menunjukkan ketidaksukaannya. Yang bisa dilakukan hanyalah menyimpannya dalam hati tapi kemudian terakumulasi menjadi dendam.


Apalagi bila percekcokan tersebut berujung dengan perceraian yang membuat mereka hidup terpisah satu sama lain. Bila pemahaman terhadap masalah ini tidak segera diluruskan, anak akan merasa ditinggalkan yang membuat kekecewaannya kian berlarut.


* Disiplin/peraturan yang terlalu ketat


Tujuannya mungkin baik, yaitu mendisiplinkan anak. Namun, penerapan disiplin yang terlalu ketat justru akan jadi bumerang. Sederet aturan yang ditetapkan dari bangun tidur sampai tidur lagi hanya akan membuatnya kesal. Dalam jangka panjang bukan tidak mungkin hal ini hanya akan membuahkan dendam anak pada orang tua.


* Hal-hal remeh yang sama sekali tidak terduga


Apakah kekesalan yang menumpuk akan menjadi dendam berkepanjangan atau tidak, sekali lagi terpulang pada karakter anak maupun polesan dari lingkungan. Sangat mungkin hal-hal kecil yang menurut orang lain sepele, ternyata bagi anak tertentu menjadi kekesalan yang bercokol di hatinya. Misalnya hanya gara-gara ingin pakai baju biru kesayangannya yang saat itu belum disetrika, mungkin saja anak jadi "kesal seumur hidup" pada orang tuanya. Jadi orang tualah yang harus pandai-pandai menilai karakter anak sekaligus menyiasatinya.


BERSIKAPLAH CEPAT TANGGAP


TAK DAPAT dipungkiri, salah satu tugas orang tua adalah peka terhadap setiap perubahan perilaku anak. Jangan sampai momen penting dimana hal yang sebenarnya masih bisa dikoreksi terlewat begitu saja.

Sani mengingatkan agar orang tua cepat tanggap bila ada perubahan perilaku yang signifikan yang biasanya ditunjukkan oleh anak bila tengah menyimpan masalah. Di antaranya konsentrasi dan daya ingat menurun, sensitif, pendiam, gampang panik, tidak bisa tenang dan santai, kelihatan letih, kaku, sering mengeluh capek, agresif verbal, kurang komitmen, tidak tepat waktu, dan sebagainya.


Bila salah satu perubahan tersebut terlihat dalam diri anak, orang tua harus segera mengulurkan tangan untuk membantunya. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah membuka jalur komunikasi. "Tanyakan ada masalah apa, tapi ingat jangan mendesak. Sikap mendesak dan kelewat ingin tahu hanya akan membuat anak makin menutup diri."


Anak-anak tertentu, terutama yang berkepribadian ekspresif, memang akan lebih mudah membuka diri. Biasanya anak dengan tipe kepribadian ini akan sering mempertanyakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya. "Jawablah pertanyaan anak dengan pemahaman yang benar. Mengapa sekarang dia harus sekolah, contohnya. Beri gambaran yang menyenangkan tentang sekolah dan yang terpenting jangan pernah ada unsur indoktrinasi di dalamnya."


KOMUNIKASI DUA ARAH


Sebetulnya kekecewaan merupakan hal wajar dan bisa terjadi kapan saja sejalan dengan perkembangan anak. Namun yang tidak perlu terjadi adalah kekecewaan anak terhadap orang tua yang kemudian berakar menjadi dendam. "Orang tua harus mengantisipasi hal ini dengan membuka pintu komunikasi selebar-lebarnya terhadap anak," saran Sani.


Tentu saja komunikasi harus berlangsung dua arah. Ajak anak ngobrol, gali informasi sebanyaknya tanpa perlu menunjukkan sikap menyelidik. "Ngobrol saja seperti biasa tentang hal-hal ringan seputar aktivitasnya. Tangkap perubahan walau hanya sedikit. Toh anak seusia ini belum terlalu pandai menyembunyikan perasaan. Jadi, orang tua pasti tahu kalau anak 'menyimpan' sesuatu," tandasnya.


Selain komunikasi, perhatikan juga kebiasaan anak. Kalau anak biasanya ceria, tapi belakangan terlihat lebih pendiam, orang tua harus segera waspada, jangan-jangan ada masalah. Kalaupun orang tua tidak bisa menyaksikannya sendiri karena seharian harus berada di kantor, orang tua dapat "menitipkan mata" pada pengasuh anak.


BIASAKAN MELIBATKAN ANAK


Hal lain yang bisa digunakan sebagai "alat" antisipasi adalah pembiasaan memberi alternatif pilihan kepada anak. Ketika berniat menyodorkan hal baru, sebaiknya libatkan anak dalam diskusi untuk menentukan pilihan.


Kalaupun keputusan akhir tetap ada di tangan orang tua, tapi setidaknya perasaan terlibat dalam pengambilan keputusan ini dapat mengurangi keterpaksaan yang mungkin timbul dalam diri anak. Selain itu, keterlibatan ini juga mampu menumbuhkan perasaan dihargai, diakui dan akhirnya akan membuatnya percaya diri ketika menjalani hal baru tadi.


Akan tetapi ada satu hal yang harus dipahami orang tua. Menghadapi masalah yang sama, dampak yang muncul bisa jadi amat berbeda pada masing-masing anak, sekalipun mereka saudara sekandung. Sebaliknya, masalah yang berbeda bukan mustahil menimbulkan efek yang sama dahsyatnya.


Untuk masalah ketidakharmonisan dalam keluarga, contohnya, ada anak yang menganggapnya biasa saja, tapi ada juga yang menganggapnya sebagai beban berat yang harus ditanggungnya sampai berlarut-larut. Atau, dendam yang sama besar bisa saja disebabkan percekcokan orang tua yang berakhir dengan perceraian, sedangkan pada anak lain timbul hanya gara-gara dipaksa potong rambut dengan model yang tidak sesuai selera. Jadi, tukas Sani, "Memang tidak bisa dipukul rata untuk masing-masing anak maupun setiap kasus. Di sinilah pentingnya kemampuan orang tua untuk mengantisipasi keadaan."


BILA SUDAH TELANJUR


Kalaupun orang tua kecolongan, dalam artian anak sudah telanjur menyimpan kekecewaan dalam hatinya, langkah-langkah penyelesaian harus segera diambil seperti yang disarankan Sani berikut ini:


* Selidiki akar permasalahannya


Begitu tahu anak menyimpan "dendam" terhadap orang tua, segera cari tahu akar permasalahnnya. Contohnya, apakah peraturan yang diterapkan orang tua terlalu membebani anak ataukah ada hal lain di balik itu. Intinya, cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai penyelesaiannya justru sama sekali tidak menyentuh akar permasalahannya.


* Berikan pemahaman yang benar


Misalnya anak keberatan tidur tepat pukul 20.00. Jelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti bahwa besok ia harus sekolah. Kalau tidurnya kemalaman, maka besok bisa terlambat bangun dan akhirnya terlambat sekolah.


* Luruskan hal-hal keliru yang dipercayai anak


Kalau selama ini anak mempersepsikan bahwa aturan tidur cepat merupakan larangan baginya untuk bermain lebih lama atau larangan menunggu ayahnya pulang kantor, orang tua harus segera meluruskannya.


Substitusikan hal yang tidak menyenangkan dengan hal yang menyenangkan.


Kekesalan anak untuk tidur tepat waktu sebagai hal yang tidak menyenangkan dapat disubstitusikan dengan beberapa hal yang membuatnya senang. Hal yang paling sederhana adalah pemberian reward berupa pujian yang proporsional. "Wah, anak Mama pinter deh, karena kemarin tidurnya enggak terlambat. Sekarang bisa bangun pagi dan ke sekolahnya enggak telat." Atau sepulang sekolah ia boleh melakukan kegiatan favoritnya karena sudah bangun dan tidur tepat waktu.


* Libatkan ahli


Bila kondisinya sudah sedemikian berat, semisal sampai tak mau bicara sama sekali dengan orang tuanya, sebaiknya segera libatkan ahli. Begitu juga kalau anak selalu bikin onar di sekolah atau menjadi biang keributan di rumah. Ini penting untuk mendapatkan penanganan yang menyeluruh.


TERBAWA SAMPAI DEWASA


Bila dibiarkan berlarut-larut, kekecewaan ini akan mengakar di hati anak dan akhirnya terakumulasi sebagai dendam yang mungkin saja akan terus terbawa sampai dewasa. "Ini jelas berbahaya bagi pertumbuhan anak," ujar Sani. Selain hubungan dengan orang tua jadi kurang harmonis, anak yang tumbuh dengan masalah seperti ini, umumnya akan tumbuh jadi individu dengan konsep diri negatif. Ia kurang percaya diri, cenderung menarik diri dari lingkungan, sulit membina hubungan sosial, dan paranoid atau selalu curiga pada orang lain.


Namun di balik itu ada juga orang dengan karakter tertentu dimana keadaan tertekan justru bisa memotivasinya untuk maju. "Dalam istilah psikologi namanya eustres, yaitu kondisi stres yang menjadi motivasi. Enggak sedikit anak yang berpotensi memiliki kelebihan ini," ujarnya.
Marfuah Panji Astuti.

Ilustrator: Pugoeh





No comments: