Search This Blog

Sunday, July 25, 2004

“AKU ENGGAK SUKA DIMARAHIN DI DEPAN ORANG!”

“AKU ENGGAK SUKA DIMARAHIN DI DEPAN ORANG!”
Memarahi anak di depan umum hanya akan menyudutkan dirinya tanpa ia tahu betul permasalahannya.

Di sebuah acara arisan keluarga, Rita terperanjat bukan kepalang tatkala si kecil, Rino, tiba-tiba jatuh dan memecahkan beberapa barang pecah belah. Tanpa dapat menahan amarahnya, ia langsung berkata, "Mama kan, sudah bilang. Jangan main lari-larian! Jadinya jatuh kan. Semua pecah kan? Bandel, sih!"

Pernah memarahi anak di depan orang lain seperti ibu Rita tadi? Sebaiknya dihindari saja karena akan percuma. Kenapa? Menurut Rahmitha P. Soendjojo, Psi., mengomeli anak di depan umum hanya akan membuatnya merasa dipojokkan dan dipermalukan. Anak juga sebenarnya bingung mengapa orang tuanya marah besar. "Kok, Mama bilang aku nakal sih. Kan aku lari-lari karena sedang main dengan temanku!" misalnya.

Tentu saja tidak ada anak yang suka dipojokkan di depan orang lain. Ia merasa dipermalukan atau harga dirinya diinjak. Jangankan begitu, tanpa ada orang lain di sekitarnya pun, si kecil tidak suka dimarahi. Lagi pula kalau mau jujur, munculnya kemarahan orang tua di depan umum, biasanya bukan karena perilaku si kecil, tapi lebih pada perasaan malu karena takut dianggap sebagai orang yang tak "sukses" mendidik anak. "Tuh, lihat anaknya. Sudah tahu sedang di pesta, anaknya masih saja lari-larian!" Akhirnya untuk menutupi rasa malu, orang tua melampiaskannya pada si kecil. Dengan begitu diharapkan orang lain bisa menilai bahwa si anaklah yang semata-mata bersalah, bukan karena orang tua lalai mengawasi.

DAMPAK PADA KEPRIBADIAN

Asal tahu saja, jika keteledoran anak langsung disambut orang tua dengan kemarahan di depan umum, maka akan ada beberapa rentetan kesalahan yang menurut Mitha otomatis mengikuti. Umpamanya, secara tidak langsung orang tua berarti "menghakimi" anaknya tanpa mencari tahu dulu penyebab kejadian tak berkenan itu. Misalnya, kalau si kecil sampai terjatuh, bisa saja kan karena lantainya licin atau kehilangan keseimbangan. "Persoalan inti mengapa anak sampai berbuat kesalahan malah tidak disinggung. Fatalnya, anak lantas diberi label nakal, tak bisa diatur, dan sebagainya, sementara ia tidak tahu penyebabnya."

Dampak memarahi anak di depan umum pun tidak bisa dianggap remeh. Yang langsung terjadi saat itu juga adalah menjatuhkan mental anak. Sementara dampak jangka panjangnya, yaitu:

* Membentuk mental buruk.

Jika tindakan memarahi di depan umum dilakukan berkali-kali, pada diri anak akan terbentuk mental yang buruk. Misalnya, anak yang mendapatkan julukan negatif, seperti bandel atau nakal, cenderung mengidentifikasikan dirinya seperti apa yang dikatakan orang tua pada dirinya.

* Mengganggu perkembangan kepribadian.

Dimarahi di depan umum akan membuat harga diri anak jatuh. Padahal, usia 4-5 tahun merupakan masa pembentukan harga diri. Lama-kelamaan sikap orang tua ini membuatnya merasa tak punya harga diri lagi. Dia merasa dirinya tak berharga atau tak berguna. Jika melakukan sesuatu selalu timbul rasa waswas, takut yang dilakukannya itu adalah kesalahan. Dia pun merasa tak bisa mempelajari sesuatu dengan baik. Semua itu lama kelamaan akan berdampak pada perkembangan kepribadiannya.

* Kepecayaan diri menjadi rendah.

Dalam konteks yang lebih luas, seringnya dimarahi di depan umum akan mematikan rasa percaya diri anak. Dia akan merasa minder dan rendah diri. Dia juga akan memilih menutup diri dan selalu menyendiri. Dia tidak merasa nyaman berada di antara orang-orang. Alhasil, kemampuan sosialisasinya akan terhambat.

Bagi orang tua, dampaknya juga tidak baik. Orang lain akan berpandangan negatif, misalnya, "Ih, kok tega ya marahin anak seperti itu?" Ini malah jadi bumerang buat orang tua. Atau teman-teman si kecil juga jadi berpandangan negatif. "Ih, mamanya Adit galak. Serem...."

CARI PENYEBABNYA

Jadi ketimbang "menyemprot" anak di depan orang banyak, saran Mitha, cari tahu hal yang melatarbelakangi kenapa anak melakukan sesuatu yang akhirnya memicu kemarahan orang tua. Biasanya mereka tak sengaja melakukan semua "kesalahan" itu, kok. Berikut ini beberapa penyebab mengapa anak bisa melakukan kesalahan baik secara sengaja maupun tidak disengaja:

1. Rasa Ingin Tahu

Si prasekolah memiliki rasa ingin tahu tinggi sehingga cenderung ingin selalu bereskplorasi, selalu ingin melakukan hal-hal baru dengan aksi coba-coba tanpa mengenal risiko. Dia melakukan sesuatu yang tanpa disadari bisa melukai atau mencelakakan diri sendiri. Nah, kalau mereka celaka, terjatuh kala berkejar-kejaran di lantai licin, misalnya, inilah yang biasa menjadi sasaran kemarahan orang tuanya.

2. Mencari Perhatian Orang Tua

Anak merasa dirinya kurang atau tidak diperhatikan lagi oleh ayah atau ibunya. Umpamanya, si sulung yang merasa diabaikan orang tua karena kedatangan adik baru. Lantaran itu, ia kerap berbuat sesuatu yang bisa membuat orang tuanya marah. Dengan begitu ia bisa mendapat perhatian walau dalam bentuk kemarahan.

3. Memancing Emosi Orang Tua

Anak ingin mengetahui bagaimana sikap orang tua jika dia melakukan sesuatu yang dilarang. Dalam hal ini, anak sengaja memancing reaksi orang tua. Awalnya anak sekadar ingin mengetes apakah orang tuanya berani atau tidak memarahinya di depan orang lain. Kadang-kadang kalau sudah dimarahi, si anak justru menantang orang tuanya dengan mengatakan, "Memang cuma Mama yang bisa marah."

TELAN LAGI KEMARAHAN

Nah, apa pun penyebab yang melatarbelakangi sikap teledor anak, telan kembali kemarahan kita yang sudah sampai di bibir. Ingat lo kemarahan orang tua terhadap anak di depan umum lebih banyak meninggalkan dampak negatif ketimbang positif. Untuk itu, psikolog dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) ini memberikan beberapa kiat mengatasi saat anak "berbuat kesalahan":

1. Menegur dengan halus

Jika orang tua mendapati anaknya berbuat salah atau teledor, berilah ia teguran halus. Misalnya, "Aduh kenapa Nak, jatuh? Licin, ya, lantainya? Makanya, kalau main kejar-kejaran jangan di dalam rumah."

Kalaupun anak masih berbuat kesalahan serupa, beri peringatan berupa sanksi. Misalnya, "Ibu enggak akan membelikan kamu mainan kalau kamu tetap lari-larian di dalam rumah." Selanjutnya, berikan motivasi kepadanya supaya lebih berdisiplin atau menurut apa yang dikatakan orang tua.

2. Mendengarkan penjelasan anak

Simaklah penjelasan anak kenapa ia sampai melakukan "kesalahan". Umpamanya, anak naik-naik pohon di depan teman-temannya atau teman-teman kita lalu ia terjatuh. Mungkin ia punya alasan sendiri mengapa memanjat pohon yang tinggi; ingin memetik buahnya atau melihat ulat bulu yang ada di batangnya. Apa pun alasannya, tak perlu menyalahkannya di depan orang lain (begitu juga jika ia sedang sendirian). Lebih baik, jelaskan kembali aturan tentang memanjat pohon. Kenalkan risikonya kalau ia tidak berhati-hati seperti jatuh yang barusan dialaminya. Misalnya, "Adek kan tahu pohon jambu yang Adek panjat itu tinggi. Kalau jatuh, kan sakit. Jadi kalau Adek mau naik pohon harus ada Mama atau Papa ya!"

3. Belajar Memaafkan

Kalau sudah telanjur memarahi karena kesal, orang tua sebaiknya meminta maaf kepada anak. Katakan bahwa kemarahan tersebut timbul karena rasa sayang kita terhadapnya. Peluk dan cium hangat membuat si kecil tidak merasa terpojok tapi sekaligus jera melakukan kesalahan. Tindakan seperti ini sekaligus memberinya pelajaran bagi anak bagaimana cara memaafkan.

Suatu hari jika anak berbuat kesalahan, tanpa disuruh ia akan meminta maaf dan takkan mengulangi lagi kesalahannya. Kalau sudah begitu, saat berbuat kesalahan secara otomatis ia akan berupaya mengubah perilakunya. Ia tidak menunggu dimarahi atau dipermalukan di depan teman atau orang lain.

4. Puji anak saat berbuat baik

Jangan hanya ketika berbuat salah, anak langsung dimarahi tapi pujilah saat ia berbuat hal positif, "Aduh, pintar ya anak Ibu enggak ganggu adik seharian." Pujian terhadap tindakan positif membantu anak dalam menumbuhkan rasa percaya diri. Ia merasa didorong untuk selalu berbuat kebaikan.

5. Beri Kepercayaan

Jika orang tua memberikan kepercayaan kepada anak untuk bisa memperbaiki perilakunya, justru ia akan belajar meningkatkan kemampuan dirinya. Hargai setiap inisiatifnya. Perlu diketahui, kepercayaan dari orang tua dapat mempengaruhi pertumbuhan mental dan kepribadian si kecil. Ingat, kepercayaan orang tua adalah landasan bagi anak untuk memiliki basic trust (kepercayaan dasar) sehingga ia bisa belajar untuk menghargai diri sendiri dan akan merasa dirinya berharga.

MARAH BUKAN KUNCI DISIPLIN

Ada anggapan memarahi anak (termasuk dengan melakukan tindakan fisik seperti mencubit atau menjewer telinga) merupakan salah satu bagian dari proses mendisiplinkan anak. Pendapat seperti ini, menurut Mitha, tidaklah tepat. Perlu dipahami, setiap orang pasti pernah berbuat salah termasuk anak-anak. Yang patut diperhatikan adalah bagaimana cara meluruskan kesalahan anak tersebut. Apalagi kalau anak melakukannya secara tidak disengaja, seperti berlari-lari lalu terpeleset. "Tentunya kesalahan seperti itu jangan disikapi dengan cara marah. Perlu ditekankan sekali lagi, marah bukan salah satu cara mendisiplinkan anak."

Kalaupun orang tua akan menerapkan disiplin maka ada syarat yang perlu dipenuhi yakni:

* Disiplin mesti dilakukan secara berkesinambungan atau konsisten. Umpamanya, jangan gara-gara mainannya tidak dibereskan, lalu saat ada yang tersandung oleh mainan tersebut, barulah kita memarahinya atas nama penegakan disiplin. Padahal sebelum kejadian itu, mainannya yang berantakan di mana-mana didiamkan saja.

* Aturan yang dibuat harus jelas dan tegas. Misalnya, anak diminta jangan main kejar-kejaran setelah lantai selesai dipel karena bisa tepeleset. Jadi anak pun paham dan mau sukarela menerapkan aturan karena tahu risikonya.

* Orang tua perlu memberi contoh kedisiplinan. Kalau ada aturan tak boleh nonton teve jam 8 malam, ya orang tua juga harus mematuhinya. Artinya, perlu ada keteladan dulu sebelum anak menerapkan pola disiplin.

Hilman Hilmansyah. Ilustrator: Pugoeh


No comments: