Search This Blog

Sunday, July 25, 2004

LINDUNGI ANAK DARI TARGET KRIMINALITAS

LINDUNGI ANAK DARI TARGET KRIMINALITAS
Data menunjukkan, dari 500 kasus tindak kriminalitas yang terjadi setiap tahun di Indonesia, sekitar 45 persennya terjadi pada anak-anak. Dari persentase tersebut sebagian besarnya adalah tindak kekerasan seksual.


Boleh dibilang hampir setiap hari siaran televisi maupun surat kabar menyajikan berita kriminalitas. Kalau Anda simak lebih jauh, peristiwa kejahatan tersebut tak "pandang bulu" alias bisa terjadi pada siapa saja. Tak terkecuali, anak-anak pun menjadi korban kebiadaban si pelaku. Orang tua memang sebaiknya peka dan menyadari kerawanan tindak kejahatan di lingkungan sekitarnya. Apalagi yang bertempat tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta yang tingkat kriminalitasnya tergolong tinggi.

Dr. Indra Sugiarno, Sp.A, dari subbagian kriminologi RSUPN Cipto Mangunkusumo mengatakan, tindak kejahatan terhadap anak-anak yang paling sering terjadi berupa kekerasan secara fisik dan seksual. Kekerasan fisik adalah tindak semena-mena si pelaku terhadap korban seperti pemukulan dan pembenturan. Beberapa kasus menyebabkan anak harus dirawat intensif di rumah sakit dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia.

Sedangkan pada kasus tindak kekerasan seksual yang menjadi objek kejahatan adalah wilayah sensitif, seperti alat kelamin atau payudara. Tindak kriminalitas yang terjadi bukan hanya berupa percabulan seperti meraba alat vital korban tapi juga sampai pada kasus perkosaan dan sodomi.

SI PELAKU DIKENAL

Dari berbagai kasus kejahatan yang muncul, ternyata anak yang mengalami keterbelakangan mental paling berisiko menjadi korban kriminalitas. Kenapa? Karena biasanya korban gampang dibujuk dan diiming-imingi. "Tahu-tahu dia sudah hamil dan ternyata yang menghamili tetangganya." Yang juga cukup berisiko tinggi adalah anak-anak yang selalu berpakaian serbaminim dan ketat. Walaupun ia masih kanak-kanak, bagi orang lain yang melihatnya bisa menimbulkan daya tarik sehingga muncul hasrat untuk berbuat jahat.

Yang membuat hati miris, umumnya korban mengenali si pelaku kejahatan. Dari kasus yang muncul, kebanyakan pelakunya ini adalah orang-orang "dekat" korban, misalnya pembantu, sopir, tukang becak/ojek langganan, tetangga, guru, bahkan kerabat dekat seperti paman. "Para pelaku sebenarnya orang-orang yang mestinya melindungi anak. Makanya anak-anak rentan mengalami tindak kriminalitas dari orang di sekitarnya," papar Indra.

Nah, karena merasa kenal dan ada "kedekatan" seperti itu, si pelaku mudah saja membujuk korban untuk mau dibawa ke suatu tempat dan melakukan perlakuan tak senonoh. Di sisi lain, anak-anak yang masih lugu ini percaya bahwa si pelaku ini bukanlah orang asing sehingga dia tidak menolak ketika dibujuk oleh pelaku.

Hal senada dikatakan Kombes Pol. Drs. Bambang Soerjo Wardjoko MM., yang mengepalai Biro Bina Mitra Polda Metro Jaya. "Pelaku tersebut biasanya sosok yang di mata anak baik, lemah lembut, sopan, dan pemurah. Kalau pelakunya menyeramkan, anak sudah keburu lari."

Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya pada tahun 2003, jumlah tindak pencabulan terhadap anak yang dilaporkan sebanyak 61 kasus dan perkosaan 11 kasus. Sementara data pada tahun 2004 dari Januari hingga Maret mencatat tindak perkosaan sebanyak 6 kasus dan pencabulan 2 kasus. Korban kejahatan bisa anak perempuan dan laki-laki.

NIAT DAN KESEMPATAN

Setelah latar belakang si pelaku ditelusuri, umumnya ditemukan fakta bahwa mereka pernah mengalami kejahatan serupa di masa lalunya, misalnya menjadi korban sodomi/perkosaan. Memang, orang yang pernah mengalami tindak kejahatan, di kemudian hari bisa jadi pelaku tindak kejahatan yang sama. Seperti kata teori, abused become abuser.

Pada beberapa kasus yang lain, pelaku adalah orang baik-baik. Namun, karena muncul niat dan ada kesempatan maka terjadilah tindak kriminalitas itu. Sayangnya, ada juga pelaku yang seolah-olah menjadi kecanduan untuk berbuat jahat lagi setelah lepas dari kurungan penjara. Ada juga pelaku yang memang mengalami gangguan kejiwaan. Jadi bagaimanapun kewaspadaan mesti selalu diutamakan.

MENDETEKSI KORBAN KEJAHATAN

Lalu, bagaimana orang tua bisa mengetahui jika anaknya ternyata mengalami tindak kejahatan? Sayangnya, kata Indra, anak yang mengalami tindak kriminalitas kebanyakan tak berterus terang kepada orang tuanya karena biasanya ia lebih dulu mendapatkan ancaman dari pelaku. Untuk mendeteksinya perhatikan bagaimana perilaku si kecil, apakah menjadi pemurung, gampang marah, menyendiri, atau bahkan mengurung diri. Kalau ada perubahan sikap seperti itu, bolehlah ibu dan bapak menaruh curiga jangan-jangan anak menjadi korban kejahatan.

Kalau sudah begitu, orang tua sebaiknya mencoba mengajaknya berdialog. Perhatikan apakah anak mengeluh seperti merasa sakit di daerah kemaluan dan sebagainya. Sediakan waktu ekstra untuk menggali apa yang dialami anak dalam suasana yang relaks.

Yang pasti, orang tua jangan panik karena justru bisa membuat korban jadi lebih panik. Bawalah korban ke dokter, psikiater, atau psikolog. Kemudian, laporkan kepada pihak kepolisian untuk diusut lebih lanjut. "Memang ada saja orang tua yang tak melaporkan kasus seperti ini karena malu."

MEWASPADAI KEJAHATAN

Menurut Bambang, berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan orang tua agar anak terhindar dari tindak kejahatan:

1. Mengajarkan anak untuk mengenal nama sendiri, nama orang tua, dan pekerjaan orang tua.

2. Mengetahui alamat tempat tinggal dan nomor telepon rumah/telepon genggam orang tua.

3. Membiasakan berdialog dengan anak untuk bercerita apa yang dialami selama tak bersama orang tua.

4. Ajarkan anak untuk tak mudah menerima pemberian dari orang tak dikenal serta tak mudah menerima tawaran menumpang mobil.

5. Orang tua sebaiknya mengenali teman-teman anak, orang tua teman anak, dan guru anak di sekolah.

6. Kenali baju atau pakaian yang dipakai anak saat itu.

7. Beri pengertian kepada anak untuk tak pergi tanpa seizin ibu/ayah.

8. Pastikan anak melalui rute aman kriminalitas, seperti keramaian atau proyek pembangunan.

9. Informasikan pada guru siapa yang akan menjemput.

10. Berikan nomor telpon rumah, kantor atau telpon genggam pada guru/kepala sekolah untuk keadaan darurat.

11. Catat nomor telepon sekolah anak.

12. Lakukan kontrol ke sekolah/rumah.

Hilman Hilmansyah. Foto: Iman/nakita


No comments: