Search This Blog

Sunday, August 01, 2004

DARI MINAMATA KE MINAHASA

DARI MINAMATA KE MINAHASA
Belajarlah dari kasus Minamata karena tragedi serupa sepertinya kini terjadi di tanah air kita. Buktinya, masyarakat di sekitar Teluk Buyat, Sulawesi Utara menderita penyakit misterius yang mirip dengan penyakit mengenaskan di Teluk Minamata, Jepang beberapa dekade silam.


Dr. Jane M. Pangemanan, M.Kes., benar-benar terkejut saat memeriksa kondisi sekitar 100 orang warga Teluk Buyat. Ternyata, 80 persen di antaranya mengalami gejala penyakit yang sama; sering kram, sakit kepala, gatal-gatal, dan tumbuh benjolan di beberapa bagian tubuhnya. "Saat itu saya berpikir, sepertinya ada suatu pola penyakit yang dialami masyarakat di sana," kata dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado ini.

Merasa penasaran, Jane lalu menelusuri berbagai literatur untuk mencari perbandingan. Singkat cerita, ditemukanlah informasi tentang kasus Minamata. Setelah ditelaah lebih jauh ternyata gejala-gejala yang dialami warga tepi pantai itu mirip dengan peristiwa di Jepang yang terjadi sekitar tahun 1960-an. Adalah pencemaran dari logam berat yang diduga kuat menjadi penyebabnya. Seperti diketahui, di Sulawesi Utara terdapat proyek penambangan emas yang dikelola oleh PT Newmont Minahasa Raya. Di sisi lain, masyarakat di sana juga melakukan penambangan sendiri yang sudah terjadi sejak 50 tahun lalu.

Kecurigaan senada dilontarkan pula oleh Budi Haryanto, SKM, MSPH, MSc. Menurutnya, penyakit tersebut mungkin berasal dari ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat di sana. Diduga ikan-ikan di Teluk Buyat sudah tercemar zat merkuri dan arsen dari hasil olahan tambang. Bila dirunut-runut rantai makanannya mungkin seperti ini; makhluk hidup yang berada di dasar laut, yang sudah terkontaminasi racun logam berat, dimakan oleh ikan yang hidup di perairan sebelah atasnya. Selan-jutnya, ikan tersebut dimangsa ikan lain. Terus demikian sampai akhirnya dimakan ikan yang hidup di bagian permukaan laut. Nah, ikan yang sudah terkontaminasi ini kemudian ditangkap oleh nelayan dan dikonsumsi oleh masyarakat. "Jadi diduga ada suatu siklus rangkaian makanan. Pencemaran yang awalnya berada dalam tubuh ikan lalu menjalar juga pada manusia," papar peneliti pada Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPKUI) ini.

Sebetulnya, kata Budi, masuknya zat-zat beracun ke dalam tubuh manusia bisa melalui tiga kategori, yaitu:

1. Melalui kulit. Misalnya, seseorang mandi atau berendam di air yang sudah terkontaminasi zat logam berat. Bukti nyata bisa dilihat dengan timbulnya sejenis iritasi kulit pada "korban" di Teluk Buyat.

2. Melalui makanan. Memang efeknya tidak tampak dengan segera, tapi dalam jangka waktu yang lama. Misalnya, beberapa tahun kemudian seseorang yang sudah teracuni logam berat sering mengalami tremor, menderita tumor, kram, mengalami kegilaan, bahkan sampai meninggal.
3. Melalui pernapasan. Dalam kasus ini, asap logam merkuri yang sengaja dibakar oleh penambang untuk memisahkan emas dan pasir bisa terisap dan akhirnya meracuni tubuh.

SUDAH SERING DITELITI

Menurut Budi, sudah banyak penelitian yang mencoba mengungkap bahwa kasus tersebut betul-betul dikarenakan pencemaran logam berat dari limbah pertambangan. "Walau penelitian belum dapat membuktikan sepenuhnya bahwa kasus tersebut akibat pencemaran merkuri. Namun, ada indikasi pasti mengenai pencemaran logam berat di sana. Yang belum diketahui apakah sumber pencemarannya berasal dari penamba-ngan rakyat atau Newmont," kata Budi yang juga mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.

Seperti dikatakan Jull Takalinang, Koordinator Program Yayasan Suara Nurani, sebuah LSM di Sulawesi Utara, sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan bahwa masyarakat Teluk Buyat mengalami sakit karena pencemaran limbah tambang. Misalnya penelitian yang dilakukan di Speciality Laboratories, Santa Monica Amerika. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa unsur logam berat arsen dan merkuri telah terakumulasi dalam tubuh masyarakat Teluk Buyat. Contoh konkretnya, dari 20 sampling yang diteliti, 16 orang dinyatakan memiliki konsentrasi arsen dalam darah yang melebihi ambang batas aman (di atas 11 mcg/L). Sementara dari sampling tersebut, ditemukan 14 orang memiliki konsentrasi merkuri dalam darah yang sudah berada di atas ambang batas aman (di atas 5 mcg/L).

"Jadi sebenarnya bukti-buktinya sudah jelas, tapi selalu saja disangkal dengan mengatakan bahwa Newmont sudah sesuai prosedur. Bantahan bahwa mereka tak bersalah selalu ada. Malahan, mereka menuduh penyakit ini didapat akibat kebiasaan buruk masyarakat nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom sehingga biota laut tercemar. Lha, dari mana mereka bisa membuat bom atau dari mana mereka punya uang buat beli bom. Mereka, kan, golongan orang tak mampu."

Masalahnya lagi, berbagai penelitian yang sudah dilakukan selama ini tidak atau belum ditindaklanjutan oleh pihak-pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah. Hasil studi sebenarnya sudah sering dilaporkan tapi mungkin disimpan begitu saja. Alhasil, kasus ini seolah-olah hilang ditelan bumi. Sekali lagi, kalaupun ada pihak-pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengadukan atau menunjukkan penelitan bahwa PT Newmont-lah biang keladinya, tentu selalu dibantah atau disangkal. Padahal, kata Budi, kalau kasus itu muncul tentu harusnya dipertanyakan. "Apakah misalnya pembuangan limbah tailingnya selama ini sudah tepat?"
Masih menurut Budi, ada yang menyebutkan bahwa dengan penempatan limbah tambang di kedalaman 82 meter, seperti yang dilakukan Newmont, sebenarnya sudah aman. Tapi, ada juga teori yang menyebutkan bahwa baru dikatakan aman jika dibuang pada kedalaman 200 meter. "Jadi untuk hal yang ini saja konsepnya sudah berbeda-beda."

Namun, kasus yang muncul di Teluk Buyat ini masih perlu dipastikan apakah sudah termasuk keracunan logam berat atau belum. Kategori keracunan adalah jika angka bahan kimia dalam tubuh seseorang sudah melebihi angka atau ambang batas, seperti terbukti pada pemeriksaan sampling di Amerika. Makanya untuk membuktikannya warga di sekitar Teluk Buyat perlu menjalani serentetan pemeriksaan seperti tes darah, urin, rambut dan sebagainya.

DAMPAK MENGERIKAN

Dampak pencemaran logam berat dalam kategori stadium dini belum terlihat secara kasat mata. Baru bisa dibilang cukup berbahaya jika sudah terjadi gangguan kemampuan motorik (tungkai terasa lemas dan sulit menggerakkan tangan), gangguan verbal, bagian mulut seperti mati rasa, muncul gangguan pendengaran dan penglihatan menjadi kabur.

Pada tingkat yang makin parah, penderita penyakit minamata akan mengalami gangguan konsentrasi dan keseimbangan tubuh. Jika berjalan posisi tubuhnya selalu goyah, tak bisa lurus. Terjadi pula dermatitis pada kulit, hiperpigmentasi, bahkan sekujur badan menjadi bersisik. Akibatnya, kulit jadi melepuh lalu berubah menjadi berwarna hitam. Dampak selanjutnya, fungsi hati dan ginjal mengalami gangguan. Penderita juga akan sulit menelan, mengalami kelumpuhan, gangguan atau kerusakan otak, bahkan kematian.

Bagi ibu hamil, pencemaran berakibat buruk pada janin karena racun merkuri dapat menembus sawar plasenta sehingga bisa mengendap di bagian otak sang calon bayi. Kalau tak terjadi abortus, bayi akan dilahirkan cacat. Umpamanya mengalami gangguan perkembangan sistem saraf dan mengalami perlukaan pada otak. "Banyak ibu hamil di Teluk Buyat yang takut atau khawatir anaknya terlahir cacat, sampai-sampai ada yang berniat menggugurkan kandungannya," ungkap Jull.

Jull juga menyayangkan sikap dokter di Puskesmas Ratatotok yang selalu menyebut sakit yang diderita warga adalah penyakit biasa atau hanya penyakit yang sering dialami masyarakat pantai dan bisa disembuhkan. Padahal, kata dr. Jane, racun logam berat yang berada dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan. Selama ini, pengobatan yang dilakukan sebatas simptomatik (hanya menurunkan gejala sakit). Tak mungkin sampai bisa mengobati yang sudah mengalami cacat.

"Saya tak tega melihatnya. Saya tak bisa berdiam diri. Kalau saya diam kejadian ini bisa terjadi di tempat lain karena ikan-ikan dari Teluk Buyat juga dijual ke tempat lain. Para penderita juga perlu segera ditangani. Bagaimanapun, daerah kampung nelayan juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Kalau didiamkan bisa terjadi genocide (pemusnahan penduduk di teluk Buyat, Red.)," papar dr. Jane.

MENGADU KE JAKARTA

Jull menyayangkan sikap pemerintah daerah, baik DPRD, gubernur dan dinas kesehatan setempat yang tetap menyangkal dan membantah terjadinya pencemaran di Teluk Buyat. "Ini cermin kelalaian pemerintah. Kalau memang peduli kami mengundang berbagai pihak untuk duduk bersama dan makan ikan bersama dari Teluk Buyat. Ini untuk membuktikan bahwa telah terjadi pencemaran di sana."

Selain mengundang para pejabat daerah untuk mengunjungi lokasi pencemaran, LSM di Sulawesi Utara juga memberanikan diri terbang ke Jakarta untuk mengadukan permasalahan ini pada pemerintah pusat. Maka sejak Senin (19/7) lalu, Yayasan Suara Nurani dan Yayasan Sahabat Perempuan dari Sulawesi Utara didukung juga oleh LBH Kesehatan Jakarta mendatangi Departemen Kesehatan, Kedutaan Besar Amerika, dan Mabes Polri. Respons yang muncul cukup positif. Depkes dan Mabes Polri berniat memperhatikan kasus ini dan akhirnya mengirimkan timnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Menurut Budi, jalan tengah terbaik saat ini adalah melakukan penelitian yang lebih komprehensif dengan membentuk tim projustisia. Dalam pelaksanaannya, Kementerian Lingkungan Hidup bersama FKM UI akan melakukan investigasi mengumpulkan bukti-bukti hukum. Secara konkret, di lapangan akan diambil sampel kesehatan masyarakat Teluk Buyat. Kemudian, mencari dan melacak lingkaran atau rangkaian kejadian pencemarannya.

Jika sudah ada hasilnya, akan dibahas dari sisi hukum. Apakah nanti cukup kuat untuk diajukan penuntutan dan siapa pihak yang akan dituntut. "Itulah jalan tengahnya. Kami tidak pro manapun dan tidak ada intervensi dari manapun. Justru kami ingin tahu dari mana sumbernya. Tentunya dengan mencari bukti-bukti akademis yang kuat. Kalau nanti dilakukan penuntutan, kami akan menjadi saksi ahli di pengadilan untuk menjelaskan rangkaiannya," tandas Budi.

Hilman Hilmansyah. Ilustrator: Pugoeh

No comments: