Search This Blog

Sunday, August 01, 2004

MENDAMPINGI ISTRI BERSALIN, SEBUAH TANTANGAN

MENDAMPINGI ISTRI BERSALIN, SEBUAH TANTANGAN
Kalau Anda tipe suami yang gampang panik, enggak tegaan, atau tidak tahan melihat darah, sebaiknya tidak usah memaksakan diri menemani istri di kamar bersalin.

Sejak jauh-jauh hari, Lala, istri dari pelakon sinetron Gunawan, mewanti-wanti agar suaminya menemaninya saat persalinan berlangsung. Untunglah proses persalinan yang melalui tindakan sesar itu berjalan lancar. Walau Gunawan sendiri mengaku sempat pusing saat melihat banyak darah dan bau amisnya yang merebak saat itu, toh ia gigih bertahan demi keinginan sang istri. Usahanya tidak sia-sia karena Lala menjadi lebih tenang dalam genggaman tangannya selama proses persalinan berlangsung.

Suami menemani istri bersalin tampaknya mulai menjadi kebutuhan bagi banyak pasangan saat ini. Beberapa artis melakukannya. Selain Gunawan, juga ada Tora Sudiro. Malah, ada cerita lucu di balik proses pendampingannya itu. Saking gugupnya, Tora malah menggenggam tangan suster dan bukan tangan istrinya. Sophie Navita pun dengan bangga bercerita kalau suaminya, Pongky, setia mendampinginya di kamar bersalin. Namun karena tahu suaminya suka enggak tegaan, Sophie sebelumnya sudah memberi peringatan agar Pongky jangan pingsan saat persalinan berlangsung.
BUTUH DITEMANI

Kalau mau diteruskan, tentu banyak cerita unik di balik pendampingan suami saat istri bersalin. Apa pun reaksi suami saat itu, entah gugup, mual atau bahkan hampir pingsan, niatnya mesti dihargai dan patut diacungi jempol. Lagi pula menurut Masera Idul Adha, Psi., tren menemani istri bersalin berkaitan dengan semakin sadarnya para suami untuk menjalin kelekatan dengan anak. Merujuk pada teori yang diberikan para ahli perkembangan anak, kelekatan orang tua dan anak mesti dijalin sedini mungkin bahkan sejak anak di kandungan.

Jadi tak heran bila suami zaman sekarang rajin mengajak bayi dalam kandungan istrinya bercakap-cakap. Termasuk menemani istri bersalin karena mereka tak mau melepaskan momen berharga saat sang buah hati dilahirkan. "Zaman dulu, suami dianggap tabu bila melihat istri melahirkan.Tetapi zaman sudah berubah. Para suami semakin sadar akan perannya terhadap perkembangan anak. Ini tentu berkat arus informasi yang semakin deras," ujar wanita yang akrab disapa Sera.

Lagi pula secara psikologis, istri memang sangat membutuhkan pendampingan suami selama proses persalinan. Bukan rahasia lagi kalau proses melahirkan layaknya sebuah pertarungan hidup dan mati bagi ibu. Rasa cemas, panik, dan takut juga kerap melanda, "Apakah anakku akan terlahir sehat, apakah aku akan selamat, apakah aku akan kuat mengejan, apakah aku..." Belum lagi, semua ketidakpastian itu harus bercampur dengan rasa sakit yang luar biasa.

Tentu saja reaksi setiap ibu kala bersalin bersifat sangat individual. Tergantung pada daya tahannya terhadap rasa sakit dan mental. Ibu yang siap mental akan menjalani persalinan dengan tenang. Tetapi bagi yang tidak, responsnya bisa macam-macam, ada yang meneriakkan kata-kata kasar, menjerit-jerit, menangis histeris, dan sebagainya. Namun bukan berarti ibu yang siap mental tidak membutuhkan pendampingan, karena hampir semua ibu pasti ingin ditemani saat melahirkan sang buah hati.

Lantaran itu Sera melihat pentingnya komunikasi antarpasangan. Bila istri memang menginginkan suaminya hadir di kamar bersalin, bicarakan hal ini jauh-jauh hari. Dari situ suami hendaknya mulai mencari informasi tentang bagaimana proses persalinan itu. Informasi bisa diperoleh dari buku, internet, majalah, tabloid, juga saat berkonsultasi pada dokter. Lalu diskusikan dengan istri apa saja yang perlu dipersiapkan dan bisa dilakukan suami saat itu.

BILA TAK BISA MENEMANI

Bila karena suatu hal, suami tidak bisa mendampingi istri bersalin, Sera mengimbau agar sang istri tidak terlalu bersedih dan kecewa berkepanjangan. Apa boleh buat jika situasi dan kondisi suami memang tidak memungkinkan. Di antaranya seperti ini:

* Suami tak siap secara mental.

Saran Sera, para suami hendaknya mengenali dirinya sendiri dulu; apakah kira-kira kuat mendampingi istri bersalin atau tidak. Umumnya, suami yang tidak tegaan, lekas panik saat melihat istri kesakitan, atau tak tahan bila harus melihat darah yang keluar saat persalinan bukan orang yang tepat untuk menjadi pendamping di ruang bersalin. Melihat itu semua, suami bisa mengalami pusing-pusing lalu pingsan. Bukannya membantu, kehadiran suami malah akan merepotkan tim medis yang tengah sibuk menangani istri.

Tak perlu berkecil hati. Menurut Sera, pendampingan suami tak selalu harus dilakukan selama persalinan berlangsung. Sebelum persalinan atau sesudah persalinan, keberadaan suami di samping istri akan sama berharganya. "Boleh-boleh saja suami menemani istri sebentar, lalu saat proses bersalin dimulai kehadirannya digantikan oleh kerabat lain, seperti ibu," ujar Sera.

Setelah persalinan usai, suami bisa menemani istri kembali untuk memberikan kenyamanan, mempersiapkan keperluan istri, dan lainnya. "Setidaknya dengan cara ini istri juga tidak merasa kecewa dan sedih karena suami tetap memberikan perhatiannya."

* Tak diizinkan pihak rumah sakit

Beberapa rumah sakit tidak mengizinkan kehadiran pendamping selain petugas medis bagi ibu yang menjalani proses persalinan, baik normal maupun sesar. Beberapa alasan yang diajukan adalah kehadiran pendamping dapat mengganggu konsentrasi petugas medis yang tengah membantu proses persalinan, keleluasaan gerak di ruang bersalin jadi terbatas bila tempatnya memang tidak luas, dan kesterilan ruang operasi pun menjadi berkurang dengan hadirnya orang luar.

* Suami sedang dinas

Apalagi bila suami sedang dinas ke tempat yang jauh sehingga tak memungkinkan pulang menemani istri bersalin. Tentu istri harus memaklumi kondisi ini. Kalaupun tak ada suami setidaknya ada anggota keluarga lain seperti ibu yang dapat menemani. Momen persalinan pun dapat difilmkan dengan kamera video, sehingga saat kembali dari dinas suami bisa melihat proses kelahiran buah hatinya.

MANFAAT DITEMANI SUAMI

Namun bagi suami yang siap fisik dan mentalnya, mengapa tidak mendampingi istri tercinta saat bersalin. Manfaatnya tidak sedikit lo. Psikolog dari RS Fatmawati, Jakarta ini menuturkan beberapa di antaranya:

* Memberi rasa tenang dan penguat secara psikis pada istri

Suami adalah orang terdekat yang dapat memberikan rasa aman dan tenang yang diharapkan istri dalam menjalani proses persalinan itu. Di tengah kondisi yang tidak nyaman, istri memerlukan pegangan, dukungan, dan semangat untuk mengurangi kecemasan, ketakutan, dan kepanikannya.

* Selalu ada bila dibutuhkan

Dengan berada di sisi istri, suami siap membantu apa yang dibutuhkan istri; dari mengambilkan minum hingga melap keringatnya. Ketika ada suatu tindakan dokter yang memerlukan keputusan keluarga, seperti tindakan vakum atau operasi, akan ada suami yang akan memberikan persetujuan atau tidak segera.

* Kedekatan emosi suami-istri bertambah

Suami akan melihat sendiri perjuangan antara hidup dan mati sang istri saat melahirkan anak. Begitu susahnya melahirkan membuatnya akan bertambah sayang pada istrinya.

* Menumbuhkan naluri kebapakan

Tapi bukan jaminan pasti bahwa kehadiran ayah saat ibu melahirkan akan langsung mendekatkan ayah dan anak. Sebab banyak faktor lain. Namun setidaknya perhatian yang diberikan ayah saat kelahiran sang buah hati sudah bisa menumbuhkan keterikatan dengan anaknya. Bisa dikatakan itu merupakan modal awal yang perlu diteruskan dengan ikutnya ayah terlibat dalam pengasuhan si kecil.
* Suami akan lebih menghargai istri

Melihat pengorbanan istri saat persalinan suami akan dapat lebih menghargai istrinya dan menjaga perilakunya. Karena dia akan mengingat bagaimana besarnya pengorbanan sang istri.

YANG MESTI DICERMATI

Agar pendampingan suami saat istri bersalin berjalan mulus, ada beberapa hal yang perlu dicermati, seperti:

* Siap mental. Semakin banyak informasi yang didapat suami soal bagaimana proses persalinan berlangsung, semakin baik karena suami akan mendapatkan gambaran sehingga mentalnya lebih siap. Pahami kondisi pasangan yang tengah cemas, takut dan kesakitan.

* Bersikap tenang. Hindari perasaan terlalu cemas atau panik dan jangan terpancing emosi dengan reaksi dan perlakuan istri pada Anda.

* Genggam erat tangan istri, lap keringatnya, beri air minum dan keperluan lain yang diinginkannya.

* Terima apa pun sikap dan reaksi istri. Pahami bahwa respons istri yang tak mengenakkan, seperti berkata kasar, menggigit tangan suami, memukul atau lainnya, bukan karena istri membenci suami melainkan reaksi dari kesakitan yang dirasakannya.

* Beri semangat dan dukungan mental dengan tidak banyak memberi nasehat. Apalagi nasehat seperti, "Sudah tenang saja Ma. Enggak apa-apa kok." Dalam keadaan kesakitan, istri akan merasa kesal mendengar omongan klise semacam itu.

* Bimbing istri dengan mengingatkan gerakan senam hamilnya, "Ayo, Ma tarik napas. Keluarkan." Atau bimbing istri mengucapkan doa agar tenang.

* Jangan memberikan nasehat atau kata-kata yang membuat istri makin panik. Misal, "Jangan panik dulu, Ma. Sakitnya ini belum seberapa. Nanti akan ada sakit yang lebih hebat lagi."

* Dahulukan kebutuhan istri ketimbang kepentingan dokumentasi. Bisa saja, kehadiran suami di ruang bersalin adalah untuk membuat dokumentasi foto atau film kelahiran si kecil. Namun, jika nyatanya istri merasa tidak nyaman dan membutuhkan dukungan yang intens dari suami, lupakan dulu urusan dokumentasi ini. Sebagai jalan tengah, mungkin bisa dicari petugas medis yang bersedia membantu menjepretkan kamera atau merekam gambar proses persalinan sementara ayah tetap mendampingi ibu.

USAI PERSALINAN

Usai persalinan baik suami dan istri hendaknya saling bersikap terbuka. Sesuatu yang dirasa tidak menyenangkan yang diterima dari pasangan saat proses persalinan hendaknya diungkapkan semua.

Memendam perasaan hanya akan membuat masalah jadi berlarut-larut sehingga bisa berpengaruh pada hubungan keduanya. "Bisa saja baik suami maupun istri menyimpan perasaan, seperti kecewa, sedih, dan dendam akibat kejadian di tengah proses persalinan. Tapi karena tidak dibicarakan langsung maka kekecewaan itu bisa terungkit saat suami istri bertengkar. Ini tentu tidak perlu terjadi kalau komunikasi antara keduanya berjalan baik," kata Sera.

Kalau perlu mintalah maaf setelah masa-masa menegangkan persalinan berlalu. "Maafin aku ya Mas, waktu itu aku bicara kasar. Padahal aku enggak bermaksud begitu lo." Atau, "Papa kok tadi enggak ngingetin Mama soal senam hamil sih?"

"Maaf deh Ma. Soalnya Papa tadi juga gugup melihat Mama kesakitan seperti itu!" Apa pun perasaan saat itu, entah sedih, kecewa, tak nyaman, tidak merasa didukung, komunikasikan dengan pasangan. Menurut Sera, itu merupakan jalan terbaik.
Dedeh Kurniasih. Foto: Dok. nakita


1 comment:

Putra said...

saya adalah calon ayah,yg insyaallah istri saya akan melahirkan bulan maret 2008,saya tidak tau apakah siap atau tidak, tapi yg jelas artikel ini bagus, karna saya menjadi yakin dan siap menemani istri tercinta 'sagita' dalam persalinan nanti.trimakasih!!! doakan ya... (by:cripton_xxx@yahoo.com <--Friendster addrs)