Search This Blog

Wednesday, July 07, 2004

BILA ANGGOTA KELUARGA HARUS BERPENCAR

Tuntutan hidup bisa memaksa masing-masing anggota keluarga untuk hidup terpisah di lain kota. Bagaimana agar bisa tetap harmonis?

Idealnya, membangun keluarga haruslah dengan pondasi kasih sayang, cinta, pengertian, saling percaya, dan iman. Selain itu, dalam keluarga harus senantiasa terjalin komunikasi dan interaksi. Itulah mengapa kedekatan fisik lewat tatap muka, bermain, berdiskusi dan saling bersentuhan setiap hari menjadi amat penting. Hanya dengan cara-cara inilah masing-masing anggota keluarga bisa saling memahami atau mengenal satu sama lain secara lebih mendalam.

Saat memasuki gerbang pernikahan, semua orang pastilah berharap bisa membangun rumah tangga ideal. Siapa, sih, yang tidak ingin setiap hari bisa tidur, kumpul, main dan makan bersama orang yang dikasihinya? Lalu bagaimana dengan keluarga yang anggota keluarganya terpaksa tidak berada dalam satu atap?

PERTIMBANGKAN MASAK-MASAK

Weny Savitry Sembiring Pandia, Psi, M.Si., dari Unika Atma Jaya, Jakarta tak mengingkari bahwa semakin tingginya tingkat inflasi berimbas langsung pada mahalnya biaya pendidikan dan barang-barang konsumsi. Faktor-faktor itulah yang kemudian membuat kebersamaan keluarga kadang sulit direalisasikan. Dorongan untuk mencukupi kebutuhan finansial rumah tangga akhirnya memaksa banyak pasangan untuk "berpisah". Ada juga kasus dimana anak-anak dititipkan pada nenek dan kakek, sementara kedua orang tuanya merantau.

Yang jelas, tugas pasangan yang hidup terpisah menjadi jauh lebih berat. Memang sih, lanjut Weny, "Selama ada komunikasi, sebuah keluarga bisa terus berjalan. Tanpa bertemu langsung pun komunikasi tetap bisa dilakukan lewat telepon dan internet. Akan tetapi kesan yang didapat lewat komunikasi tatap muka atau berdekatan secara fisik akan jauh lebih terasa dibanding yang menggunakan sarana teknis."

Oleh karena itu, jika keadaan memaksa suami istri hidup terpisah maka harus sudah disadari betul dampak negatif yang mungkin timbul. Seterusnya bagaimana? Tak lain adalah memperkecil kemungkinan efek nagatif tadi.

WAJIB PENUHI KEBUTUHAN

Lain hal bila suami dan istri punya kiat jitu untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul karena hidup terpisah. Terlebih jika dalam hitung-hitungan di atas kertas, keuntungan yang didapat keluarga bisa jauh lebih besar dibandingkan kalau mereka tetap bertahan tinggal satu atap. Sebaliknya, bila keuntungan yang didapat keluarga tidak sebanding atau tidak jauh berbeda, sangatlah bijak jika pilihan untuk tinggal berpencar disisihkan saja. Apalah artinya tambahan penghasilan yang tidak seberapa dibanding pengorbanan yang harus dilakukan suami istri bila hidup berpencar.
Penambahan penghasilan sebesar itu jelas tidak sebanding dengan minimnya kesempatan berinteraksi sesama anggota keluarga. Belum lagi biaya perjalanan pulang pergi masing-masing anggota keluarga menengok suami/istri dan anak-anak, disamping biaya telepon yang harus masuk dalam hitungan. Keuntungan lain yang didapat dari interaksi langsung dalam keluarga adalah terpenuhinya kebutuhan kasih sayang dan kedekatan hubungan yang bisa dimaksimalkan. Kedua hal ini merupakan modal penting bagi pembentukan sebuah keluarga ideal.

Namun, jika keputusan untuk tidak tinggal seatap sudah dipikirkan masak-masak, Weny mengingatkan agar kedua belah pihak tidak lupa menjalankan komitmen yang disepakati bersama. Salah satunya adalah memprioritaskan kebutuhan anak dimana suami dan istri diasumsikan sudah tahu apa saja kebutuhan anaknya. Antara lain, kebutuhan akan kasih sayang, perhatian, kedekatan dan pendidikan. Buatlah kesepakatan mengenai jadwal menelepon pada jam-jam tertentu setiap hari dan jadikan pertemuan dengan keluarganya sebagai hari-hari istimewa yang tak boleh diganggu oleh rutinitas kerja.

Begitu juga pemenuhan kebutuhan suami/istri yang tak boleh terabaikan. Masing-masing harus paham sekaligus mampu memberikan apa yang dibutuhkan pasangannya. Bagaimana dan seberapa besar porsi kebutuhan kasih sayang, finansial maupun kebutuhan seksual masing-masing tentu harus senantiasa dikomunikasikan bersama. Nah, kalau semua kebutuhan tadi bisa terpenuhi dengan baik, tidak tinggal satu atap bukan merupakan hambatan untuk membangun keluarga yang harmonis. Namun realisasi tersebut tentu bukan perkara gampang. Justru karena berat itulah Weny mengingatkan agar komunikasi antara masing-masing anggota keluarga bisa berlangsung setiap hari secara mulus dan jangan pernah sampai terputus.

HARUS ADA BATASNYA

Pesan Weny, berpencarnya anggota keluarga seperti ini sebaiknya ada batasnya. Maksudnya, pasangan suami istri haruslah bisa menentukan sampai kapan mereka harus hidup berpencar, apakah cukup 3 tahun, 5 tahun atau malah 10 tahun? Dengan kata lain, hidup berpencar harus merupakan pilihan yang bersifat sementara alias tidak diberlakukan selamanya.

Untuk keluarga muda, menurut Weny sebaiknya jangan lebih dari 5 tahun. Pertimbangannya, kasihan anak-(anak) mereka yang pasti masih terbilang balita. Mereka ini tentu sangat membutuhkan perhatian, belaian, dan ekspresi cinta kasih dari kedua orang tuanya sebagai modal proses tumbuh kembangnya. Kalau ada yang berpendapat bahwa semua itu bisa terbayar dengan mengutamakan kualitas, Weny justru balik bertanya, "Bagaimana kualitasnya bisa bagus kalau kuantitasnya tak memadai?"
Ia pun mengingatkan bahwa sosok yang paling dikorbankan dalam kasus keluarga hidup terpencar ini adalah si anak. Pasalnya, mustahil bagi anak untuk menjadikan ayah dan ibunya tokoh sentral sekaligus sosok idola mereka dalam proses identifikasi. Selain itu, anak akan kehilangan masa-masa kebersamaan dengan orang tua yang merupakan kebutuhan alamiahnya untuk menumbuhkan keberanian, rasa percaya diri, maupun rasa aman yang mampu membuatnya bahagia.

Kepada mereka yang usia perkawinannya kurang dari 5 tahun, Weny menyarankan agar sebaiknya tinggal seatap lebih dulu. Bukankah masing-masing pihak belum mengenal satu sama lain sekalipun mungkin sudah berpacaran lama. Jadi, tak beda jauh dari masa berpacaran, tahun-tahun pertama pernikahan juga masih merupakan tahap penjajakan. Agak sulit mengharapkan masing-masing pihak bisa mengetahui, apalagi sampai mengerti dan memahami betul kebutuhan pasangannya.
TERUJI DAN BISA DIPERCAYA

Yang juga harus dipikirkan matang-matang adalah kesamaan pola asuh antara ayah-ibu dengan nenek-kakek jika misalnya anak(-anak) dititipkan pada mereka. Jangan sampai timbul konflik yang akan merusak ikatan kekerabatan akibat perbedaan tajam antara pola asuh yang diterapkan ayah-ibu dengan kakek-nenek. Belum lagi dampak merugikan bagi si anak saat menghadapi inkonsistensi pola asuh terhadap dirinya. Anak jadi bingung harus mengikuti yang mana ditambah proses adaptasi yang tidak mudah. Mau tidak mau anak dituntut untuk bisa cepat beradaptasi dengan ayah-ibunya, sebentar kemudian beradaptasi dengan keluarga yang mengasuhnya.

Yang juga mesti diwaspadai adalah kondisi psikologis keluarga yang hidup berpencar. Meski kelihatannya hubungan suami-istri adem ayem saja alias tidak pernah cekcok atau berkonflik, bukan tidak mungkin keutuhan keluarga justru sedang berada di ujung tanduk. Bisa jadi ketenangan tersebut justru merupakan bom waktu yang bisa meledak tanpa terduga, jauh lebih dahsyat dibanding pasangan seatap yang sering cekcok.

Selanjutnya, bila batas waktu berpisah sudah berakhir tanpa ada keretakan hubungan, pasangan yang sempat hidup terpencar seperti ini bisa memetik hikmahnya. Selain jadi lebih matang, kesetiaan mereka satu sama lain pun sudah teruji. Pada giliran selanjutnya kondisi ini akan memperkokoh sikap saling percaya dan pengertian di antara suami dan istri.

Gazali Solahuddin. Ilustrator: Pugoeh

No comments: