Search This Blog

Tuesday, July 06, 2004

Jangan Remehkan Pengaruh Televisi

Jangan Remehkan Pengaruh Televisi


Jakarta, Kompas


BELAKANGAN ini media massa menyajikan pandangan yang pro dan kontra
terhadap
draf Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar
Program Siaran. Sebagian orang merasa apa yang diperdebatkan itu tak
berkaitan
langsung dengan kepentingan mereka, apalagi untuk anggota keluarga di
rumah.


PADAHAL, JUSTRU merekalah menjadi konsumen utama siaran televisi. Apa
ditampilkan pesawat di ruang keluarga sehari-hari bakal mewarnai kehidupan
keluarganya kini, bahkan sampai masa mendatang. Sayangnya, selama ini bisa
dikatakan tak banyak orangtua yang memberi perhatian pada pengaruh televisi
terhadap tingkah laku atau kebiasaan anak-anaknya.


Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya respons pemirsa yang muncul terhadap
program-program yang ditayangkan di layar kaca. Pemirsa di Indonesia
tampaknya
lebih suka menelan apa saja acara yang muncul pada pesawat televisinya.
Mereka
lebih memilih diam, dan tinggal memencet remote control bila acara yang
ditampilkan satu stasiun televisi tidak sesuai dengan seleranya.


Sebagian orangtua bahkan tak peduli acara apa yang ditonton anaknya.
Sepanjang
si anak tidak bertanya atau bercerita, umumnya orangtua merasa apa pun yang
disuguhkan televisi sebagai "teman" anaknya selama mereka tidak berada di
rumah
tak perlu dipermasalahkan.


Kalau toh ada pengaruh buruk televisi terhadap sebagian orang, maka
sebagian
lainnya menganggap hal itu sama sekali bukan urusannya. Padahal, sangat
mungkin
pengaruh buruk itu pun mengenai anggota keluarganya, hanya dia tak cukup
jeli
atau punya cukup waktu untuk memperhatikannya.


Ketika seorang ibu di Jakarta menulis surat pembaca tentang anak balitanya
(berusia di bawah lima tahun) yang tiba-tiba gagap dan tidak lagi berbicara
normal seperti biasa, ibu tersebut amat terkejut. Setelah diselidiki
ternyata si
anak mengikuti cara bicara Yoyo dalam sinetron Si Yoyo yang ditontonnya
lewat
layar kaca.


Meski ada keluhan yang mengemuka, toh sinetron itu tetap ditayangkan
seperti
biasa. Bagi umumnya pengelola stasiun televisi, sepanjang program tersebut
bisa
mengundang pengiklan berarti tak ada masalah.


Hal ini juga berlaku, misalnya, pada protes sebagian orangtua ketika
stasiun
televisi menayangkan acara anak-anak pada pagi hari. Acara itu menyerap
perhatian si anak hingga mengganggu persiapan mereka pergi ke sekolah.
Namun,
ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, maka program itu pun
tetap
berjalan. Silakan para orangtua sibuk membujuk anaknya agar mengalihkan
perhatiannya dari layar kaca.


DARI pengamatan psikolog Elly Risman seperti dikemukakannya pada lokakarya
"Mengkritisi Draf Standar Tayangan Anak dan Remaja" yang diadakan Unicef
bekerja
sama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan Komisi
Penyiaran
Indonesia (KPI) minggu lalu, orangtua yang diharapkan bisa berfungsi
sebagai
"sensor" untuk anak-anaknya dalam menonton televisi, kerap kali justru
berfungsi
sebaliknya, menjadi "pendorong" bagi anaknya untuk menonton televisi.


Dari penelitian kecil yang dilakukannya, Elly berkesimpulan, sebagian besar
orangtua-terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah dan bawah-justru
menjadikan anak-anaknya sebagai pemirsa televisi setia.


"Kalau ibunya bekerja, mereka akan berpesan pada anaknya untuk menonton
sinetron
anu. Setelah ibunya pulang, si anak menceritakan kisahnya agar si ibu tak
ketinggalan cerita. Atau si ibu minta anaknya nonton AFI supaya ibunya tak
ketinggalan berita siapa saja yang kena eliminasi," tuturnya.


Padahal, berdasarkan penelitian YKAI seperti dikemukakan B Guntarto,
sekarang
ini umummya anak sudah menghabiskan waktunya di depan televisi selama 35
jam
seminggu atau sekitar lima jam sehari. Sedangkan idealnya, anak menonton
televisi tak lebih dari dua jam per hari.


"Meskipun belakangan ini sebagian stasiun televisi sudah mencantumkan tanda
bahwa program itu untuk orang dewasa, memerlukan bimbingan orangtua, atau
memang
acara yang dianggap pantas ditonton anak-anak, kenyataannya hanya sekitar
15
persen saja anak yang mengatakan selama menonton televisi didampingi oleh
orangtuanya," Guntarto menambahkan.


Artinya, masih banyak orangtua Indonesia yang tak sadar pada dampak
televisi
terhadap perkembangan anak-anak mereka, apalagi mengkritisi acara-acara
yang
ditayangkan dari pagi hingga malam hari. Padahal, televisi sekarang ini
bisa
dikatakan bukan lagi barang mewah.


John Budd, Kepala Seksi Advokasi & Mobilisasi Sosial Unicef, mengatakan,
televisi telah menjangkau sekitar 90 persen rumah tangga di Asia, termasuk
Indonesia. Artinya, pengaruh televisi dalam kehidupan sehari-hari keluarga
Indonesia tak bisa diremehkan.


Agus (33), ayah dari seorang anak laki-laki berusia 5,5 tahun, mengatakan,
dia
tak lagi mengizinkan anaknya menonton sinetron Si Yoyo setelah membaca
keluhan
ibu tentang perubahan cara bicara anaknya di koran. "Dalam sinetron Si Yoyo
memang tidak ada adegan-adegan orang dewasa, tetapi di sana ada cerita
tentang
bencong. Dan, cara ayah si Yoyo marah-marah itu terlalu kasar buat mata
anak-anak," katanya memberi alasan.


Dia termasuk orangtua yang memperhatikan apa saja acara kesukaan anaknya di
layar kaca. Makanya, meski program film kartun sekalipun tak selalu bisa
ditonton anaknya. "Misalnya film kartun Baby Huey. Di sini ditampilkan
bagaimana
salah satu tokohnya pecah dan bisa menyatu kembali dalam susunan yang
kacau. Ada
juga tiang dan tali untuk gantung diri. Menurut saya, hal ini terlalu
berlebihan
untuk anak-anak," lanjut Agus.


MEMANG tak semua pengaruh televisi bisa langsung tampak akibatnya pada
anak-anak
yang menjadi pemirsanya. Mungkin karena itulah sampai sekarang masih banyak
orangtua yang membiarkan apa pun acara yang ingin ditonton anaknya,
sepanjang
itu tak lebih dari pukul 21.00.


Sebagian orangtua beranggapan, stasiun televisi telah menyeleksi program
acaranya. Dengan demikian, semua acara yang ditayangkan sebelum sekitar
pukul
21.00 relatif aman untuk konsumsi anak-anak. Padahal kalau dicermati, tak
sedikit acara sebelum pukul 21.00 yang sebenarnya tak pantas ditonton
anak-anak.
Misalnya, film-film Warkop yang jelas-jelas selalu menyerempet pada hal-hal
berbau seks.


Hera L Mikarsa dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam
lokakarya itu
menyoroti antara lain program yang mengetengahkan hal-hal berbau
supranatural.
"Bagaimana perlindungan untuk anak-anak, terutama anak-anak prasekolah yang
belum dapat membedakan realitas dan fantasi?" ujarnya.


Sebuah penelitian tentang pengaruh televisi dan kemampuan otak anak yang
dilakukan para ahli dari University of Washington, Seattle, Amerika
Serikat, dan
dimuat dalam jurnal Pediatrics menyebutkan, televisi telah mengubah cara
berpikir anak. Anak-anak yang terlalu banyak menonton televisi biasanya
akan
tumbuh menjadi sosok yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian pada
lingkungan sekitar. Mereka hanya terpaku pada televisi.


Penelitian yang melibatkan lebih dari 2.500 anak itu juga menyebutkan bahwa
satu
jam menonton televisi sehari pada anak-anak usia 0 sampai tiga tahun
akibatnya
baru tampak ketika mereka berusia sekitar tujuh tahun. Sebagian anak itu
mengalami problem berkonsentrasi.


Padahal di Jakarta, misalnya, tak jarang seorang ibu justru mendudukkan
anak
balitanya di depan televisi agar si anak mau makan, atau supaya anaknya
asyik
menonton televisi sementara si ibu mengerjakan pekerjaan lainnya. Mereka
tak
sadar bahwa tayangan televisi itu akan mempengaruhi perkembangan otak si
anak.


Pada usia balita perkembangan otak tumbuh pesat, dan ini dipengaruhi oleh
stimulasi yang diterima si anak dari lingkungan sekitarnya. Agar tak
menimbulkan
masalah pada anak di kemudian hari, The American Academy of Pediatrics
bahkan
merekomendasikan agar orangtua tak membiarkan anaknya yang berusia di bawah
dua
tahun untuk menonton televisi.


Begitu besarnya ketergantungan anak-maupun sebagian orangtua-pada televisi,
hingga dalam menentukan tempat tujuan liburan pun sering kali keberadaan
televisi menjadi salah satu pertimbangannya. Marianne (13) yang sejak kecil
terbiasa ditemani televisi, bahkan memilih tidak ikut pergi daripada
kehilangan
acara televisi yang diminatinya.


Oleh karena itulah sebaiknya orangtua tak menyerahkan begitu saja seleksi
acara
yang bisa ditonton anaknya pada pengelola stasiun televisi. Jangan berharap
stasiun televisi hanya menayangkan program yang cocok untuk semua umur pada
jam
di mana biasanya anak belum tidur.


Sebagai bagian dari industri, stasiun televisi lebih menyandarkan diri pada
kepentingan bisnis demi kelangsungan hidupnya. Bisa jadi mereka tak terlalu
peduli apakah program itu berpengaruh buruk atau baik untuk keluarga Anda.
Salah
satu faktor yang menjadi perhatian pengelola stasiun televisi adalah
bagaimana
membuat program yang bisa menarik minat pengiklan.


Kalau sekarang layar kaca dipenuhi dengan acara "seragam" seperti program
supranatural, komedi yang menjurus ke masalah seks, atau acara kenyataan (
reality show) dengan berbagai bentuknya, maka diperlukan perhatian Anda
untuk
menyeleksi tontonan yang disodorkan stasiun televisi.

No comments: