Search This Blog

Thursday, July 01, 2004

UNTUK PARA AYAH DAN CALON AYAH

AKU INGIN ANAK LELAKIKU MENIRUMU


Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya,
Lalu kubilang pada ayahnya: "Subhanallah, dia benar-benar mirip
denganmu ya!"

Suamiku menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang
kalau anak lelaki ingin seperti aku."

Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.

Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan
perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah.
Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah
ya,Yah."

Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus
itu."

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya.
Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua:
Ammaa?
Apppaa?

Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia
Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya.
Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah,
papanya
memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang
S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga.
Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan
agak
mengesalkan.
Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya.

Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin
menganggap
Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau
lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.

Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya
pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.

Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam.
Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya,
dan ia menjadi amat mudah marah.

Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku.
Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan
seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1.
Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu
dan seorang cucu.
Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa
lucu:
"Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"

Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
"Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti
aku!"

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di
hatiku. Ada yang mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.
Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia.
Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, "Ah,
gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!"

Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu ke isterinya.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana.
Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.

Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang
istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.
Pecahlah tangisku
serasa sudah berabad aku menyimpannya.

Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
"Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau
ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu!
Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau
dengar? Kau dengar anakmu tadi?
Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"

Allahumma Shali ala Muhammad? Allahumma Shalli alaihi wassalaam?

Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi.
Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain
berkejaran dengan mereka
Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati.
Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari
gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa
menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"

Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak
diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku
tak boleh berputus
asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?

Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat
kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya,
yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang
didamba.

Dada Ahmad berguncang menerima belaian.
Kukatakan di hadapan mereka berdua, "Lakukanlah ini, permintaan
seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa:
kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan
menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga
di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak
laki-laki
tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan
belaian, bukan
hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami.
Kegagahan tanpa perasaan.

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai.

Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku.. Aku bilang: "Tak ada
kata terlambat untuk mulai, Sayang."

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama,
bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si
bayi
sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh
kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di
antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang
tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan.

Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia,
syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua
jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali
berkata: Ya, Nabi? aku telah mencoba sepenuh daya tenaga
untuk mengajak mereka semua menirumu!


Amin, Alhamdulillah

No comments: