Search This Blog

Tuesday, June 29, 2004

Eyangku, Eyangmu, Eyang Kita

Publikasi 04/03/2003 09:00 WIB
eramuslim - Hujan rintik waktu itu. Saya bergegas menembus jalanan pagi
yang padat dengan payung terkembang. Berpacu dengan pejalan kaki
lainnya, juga mobil dan motor yang suka merebut kavling pejalan kaki di
trotoar. Saya harus segera tiba di kantor. Tiba-tiba sesuatu
menghentikan langkah kaki saya dan memaksa saya menoleh.
Lagi, untuk yang kesekian kali. Seorang wanita berusia di akhir 60
tahunan, berkain, kebaya dan kerudung sampir, menyandang tas kantong,
tertatih tanpa pelindung dari hujan.
"Ibu hendak kemana?" sapa saya. Payung langsung saya condongkan ke arah
beliau. Bersama kami melangkah satu-satu, menapaki jalan yang licin dan
berlubang-lubang.
"Mau naik angkot di depan situ, Neng. Ibu hendak ke Cibubur"
MasyaAllah! Cibubur? Dari Salemba? Sendirian? Dalam hujan dan tanpa
payung?
"Ibu sendirian?" Saya masih bertanya, sekedar menepis kegalauan, meski
saya tak butuh jawaban, apa yang saya saksikan toh sudah menjawab
pertanyaan itu.
"Allah yang mengantarkan Ibu, Neng!" jawabnya, sedikit melegakan saya.
Dan akhirnya, ketika saya melepasnya naik Mikrolet 01A, saya tak lagi
merasa terlalu bersalah. Allah yang akan mengantarnya sampai tujuan.
Entah berapa kali saya menjumpai peristiwa serupa. Dan semuanya
mendorong pada tumbuhnya satu rasa: Iba. Bagaimana tidak? Mereka
melangkah satu-satu, jarak 500 meter ditempuh lebih dari setengah jam.
Belum lagi trotoar yang miring atau berlobang, atau dihuni kendaraan
parkir, sehingga kadang-kadang pejalan kaki terpaksa turun ke badan
jalan yang penuh dengan kendaraan lalu lalang. Kadang saya terpikir:
kemana anak-anak mereka? Kemana cucu-cucu mereka? Hingga membiarkan
bapak/ibu atau eyangnya bepergian sendiri? Di Jakarta pula.
Mungkin dunia memang sudah sedemikian tua, hingga penghuninya tak lagi
memiliki cinta dan perhatian, bahkan kepada orang tua sendiri yang
sudah
mulai lemah. Barangkali dunia memang sudah sedemikian merana, hingga
orang di jalanan tak lagi menganggap manula sebagai makhluk lemah yang,
Tapi, sebentar! Apa hak saya 'menuduh' anak dan cucu yang mengabaikan
orang tua/eyangnya di jalanan? Apa hak saya 'menghakimi' manusia dan
dunia yang tak lagi mempedulikan para manula? Memangnya saya sudah
berbuat baik kepada eyang dan orang tua saya dengan sempurna?
Dan, tiba-tiba saya teringat eyang kakung saya di kampung sana. Usia
beliau sudah di atas 80 tahun, pendengaran sudah jauh berkurang,
penglihatan sudah tidak awas lagi dan berjalan pun sudah harus ditopang
tongkat.
Sekalipun secara fisik -seingat saya- saya tak pernah mengabaikannya,
harus saya akui, selama ini saya sulit untuk bisa akrab dengan beliau.
Pertama, karena jarak yang memisahkan kami, sehingga sedikit kesempatan
untuk bersama. Kedua, pendengaran dan penglihatan beliau yang kurang,
membuat sulit untuk berkomunikasi. Saya harus agak berteriak supaya
beliau mendengar apa yang saya katakan. Ketiga, saya kesulitan
menemukan
bahan pembicaraaan yang nyambung. Kondisi tersebut membuat saya jarang
bercakap-cakap dengan Eyang, kecuali saat melayani makan, mandi dan
semua keperluan sehari-hari lainnya.
Jadi, apa bedanya saya dengan mereka yang menelantarkan orang tua dan
eyangnya di jalanan? Meski tak tampak secara fisik, namun secara
psikologis nyaris tak ada bedanya: saya telah mengabaikannya, betapapun
alasan saya.
Dan saya pun merasa perlu mengoreksi kembali penilaian saya kepada para
anak dan cucu dari eyang-eyang di jalan raya itu. Mencoba menemukan
alasan, mengapa mereka tak mengantarkan orang tua atau eyangnya yang
bepergian. Barangkali saja keluarganya miskin, sehingga tak mampu
mengantarkan dengan kendaraan memadai. Bisa saja anak-anaknya sedang
sibuk bekerja, demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian melilit. Mungkin
saja cucu-cucunya sedang bersekolah sampai sore dan masih ditambah
dengan kesibukan membantu pekerjaan rumah tangga. Barangkali,... ada
alasan entah apa lagi. Namun, semoga saja, meski anak dan cucunya tidak
mengantarkan para eyang di jalanan itu, mereka tetap memberi perhatian
dan berbuat baik kepada eyangnya dengan cara yang lain. Hingga Allah
akan melindungi mereka, seperti kata Ibu tua tadi: "Allah yang akan
mengantar saya, Neng!"
Semoga demikian adanya, dan semoga yang demikian itu adalah melalui
tangan kita. Ya, semoga Allah menolong para eyang itu dengan
menggerakkan hati dan meringankan langkah kita untuk mengantar dan
menemani para eyang di jalanan itu. Semoga kemudian Allah menolong dan
menjaga eyang dan orang tua kandung kita, karena kita mengikhlaskan
hati
menolong para eyang di sekeliling kita.
Karena mereka adalah eyangku, eyangmu, eyang kita semua. (Saat ini saya
berharap-harap cemas, jika saya membantu para eyang di jalanan dan di
sekeliling saya, di jauh sana, Allah akan memberikan teman dan penjaga
bagi eyang saya, meskipun itu seorang anak batita yang senang
mengajaknya bermain, tanpa kata-kata verbal, namun penuh ketulusan
cinta. Ya, Allah kabulkanlah harapan saya, dan titip salam rindu saya
kepadanya). ( saat saya mengingati eyang)

No comments: